Maras Taun: Warisan Ritual dan Identitas Belitung


Ritual masa lampau yang masih lestari, melakukan sebuah metamorfosa menjadi sebuah pagelaran budaya. Event Maras Taun kini tidak hanya sekedar ayoman para pengurus adat, namun sebuah agenda tingkat nasional, yang kaya akan harta karun identitas bangsa.

Siang itu saya mendaratkan diri di atas dek sebuah kapal nelayan yang biasa dibuat untuk memancing. Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di bandara Hanan Joeddin, cuaca di Tanjung Pandan memang sangat terik. Saat itu pukul 12.30, dan sang surya terlihat tidak bermain-main memancarkan sinarnya. Untungnya, saya tidak menghitam sendirian siang itu. kapal yang saya tumpangi adalah satu dari empat kapal penuh yang akan berangkat dari Pelabuhan Pasar Ikan.

Di samping kiri-kanan saya, ikut berdesakkan banyak orang. Di kapal nelayan yang biasa hanya ditumpangi 4-5 orang saja untuk pergi ke tengah laut berburu ikan, kini dipenuhi oleh sekitar 50 orang. Dari puluhan orang itu, saya berada diantara para para lansia, remaja, turis asing hingga anak bayi. Dari mulai tempat yang beratap hingga bagian atap kapal, ludes dipenuhi manusia. Untungnya anak-anak bayi dan balita berhasil diselamatkan dari sengatan panas khatulistiwa, karena langsung diberi tempat yang teduh dan tertutup dari sinar matahari. Saking penuhnya, saya sendiri akhirnya harus menyelipkan badan dan barang bawaan di antara celah antara cerobong kapal. Selain manusia, ikut serta pula berbagai macam barang bawaan. Anda bisa menemukan bahan pangan hingga sepeda motor, yang dijejerkan diatas sebuah kapal nelayan. Saat mesin kapal dinyalakan, terjadi guncangan yang mengagetkan seisi kapal, langsung disusul oleh degupan jantung, sekaligus rasa lega dari dalam diri saya, karena akhirnya setelah menunggu hampir 2 X 60 menit, kapal yang saya tumpangi akhirnya berangkat.

Angin laut sedikit membuat saya melupakan panas yang masih juga menyengat. Justru dari sepanjang perjalanan yang berdurasi hampir tiga jam itu, saya jadi bisa membaur untuk merasakan keriaan rakyat akan perayaan yang menanti mereka di pulau tujuan. Dari keberangkatan saya siang itu, ada sekitar 250 orang yang terbagi menjadi empat kapal nelayan yang berangkat. Di sepanjang perjalanan membelah lautan, beberapa lansia yang terlihat bosa, menyenandungkan nada-nada melayu yang ceria, seraya berbagi cerita melalui nada-nada khas daerah mereka. Antusias masyarakat lokal, dengan sendirinya memancarkan esensi dari event yang akan saya sambangi. Sebuah pesta rakyat telah menanti.

Pada dasarnya, gelaran maras taun tersebar di segala penjuru Belitung. Akan tetapi yang skala acaranya paling besar, dan dari tahun ke tahun menarik perhatian, adalah yang dilaksanakan di Kecamatan Selat Nasik. Kecamatan Selat Nasik sendiri menyita sekitar 6% dari total wilayah Kabupaten Belitung. Pun demikian, atensi masyarakat akan Maras Taun di daerah ini tampaknya terlihat dari kuantitas pendatang dari luar kecamatan yang terbilang banyak. Secara Geografis, Kecamatan Selat Nasik terdiri dari empat kelurahan, yakni: Suak Gaul, Petaling, Selat Nasik, dan yang terakhir Pulau Gersik. Maras Taun itu sendiri diadakan di kelurahan Selat Nasik.

Bersihkan Duri Sepanjang Tahun

Secara Etimologis, frase Maras Taun merupakan sebuah istilah yang erat dengan keseharian rakyat Belitung, yang pada zaman dahulu berprofesi sebagai petani. Maras sendiri, mempunyai pengertian kegiatan membersihkan duri kecil yang terdapat pada tanaman. Sedangkan Taun sendiri, mempunyai arti Tahun. Pengertian ‘membersihkan duri’ ini merepresentasikan kegiatan membersihkan atau menyelesaikan segala persoalan. Jadi bisa disimpulkan, Maras Taun mempunyai pengertian kegiatan membersihkan atau menyelesaikan segalam macam permasalahan yang terjadi sepenjang tahun. Konsep dasar ini, banyak di salah artikan oleh masyarakat awam. Masyarakat awam menganggap Maras Taun hanya sekedar acara syukuran, atas panen yang didapatkan para petani pada tahun yang bersangkutan. Padahal nilai yang dibawa pada Maras Taun, mempunyai esensi yang jauh lebih penting dari sekedar pesta.

Jauh di masa lampau, di setiap desa di Belitung, masyarakat mempunyai lima pilar utama, yang memimpin dan menggerakan kelompok masyarakat. Segala bentuk peradaban dan juga kehidupan, diatur oleh lima sosok terhormat tersebut. Lima posisi itu adalah: Ketua Kampung, Dukun Kampung, Penghulu, Lebai (Pemuka Agama) dan yang terakhir Pengguling (Dukun Beranak). Lima unsur ini memimpin dan mengurus desa, agar segala macam kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Di setiap tahunnya, ada periode tertentu, dimana lima pilar kepemimpinan ini melakukan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Wilayah desa yang biasa sepi karena ditinggal bertani, menjadi penuh dan sesak, biasanya Maras Taun di masa lampau, dilakukan berbarengan dengan pengumpulan hasil panen para petani. Dari situ timbul anggapan keliru, bahwa maras taun merupakan ritual yang berpusat pada ucapan syukur atas hasil panen. Masyarakat akan menunggu para pengurus Adat memaparkan kondisi desa mereka, ditinjau dari berbagai sisi. Setelah berkumpul, maka para pengurus adat akan menceritakan, apa saja yang terjadi di sepanjang tahun, dari segi kesehatan, kemakmuran. Masing-masing pengurus adat akan berbicara, sesuai dengan perannya di masyarakat. Mereka tidak hanya menceritakan berita-berita baik, kabar-kabar buruk dan kurang mengenakkan pun dipaparkan. Dari kegiatan ini, masyaraka desa akan mencari solusi bersama, dan berusaha untuk memecahkan masalah yang menerpa desa mereka.

Facts: Pembagian dan peraturan mengenai pengurus adat di Belitung, tidak hanya berkisar pada keputusan daerah semata, namun, secara formal diatur dengan perundangan, yaitu Perda no.15 tahun 2000

Tradisi ini diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi, hingga saat ini. Saat ini, ritual Maras Taun sudah meluas kapasitasnya, tidak hanya sekedar acara yang dibentuk oleh para pengurus Adat. Sampai saat ini, ada beberapa pergeseran nilai dari Maras Taun, tanpa harus menghilangkan esensinya dari atas permukaan. Maras Taun kini tidak hanya melibatkan para pengurus adat, namun kepanitiannya mencakup puluhan masyarakat daerah penyelenggaranya.

Saat saya menemui Joniarsyah, atau biasa disebut Pak Jon, dia sedang menyiapkan gladiresik penyambutan rombongan Gubernur Belitung. Tangannya yang kekar ramah menjabat tangan saya, sembari memperkenalkan dirinya. Pak Jon terpilih secara musyawarah sebagai ketua panitia kegiatan Maras Taun tahun ini. Ini kali keduanya dia memimpin dan mengatur acara ini. “walapun kerjanya cukup berat, semua panitia disini bekerja tanpa dipungut biaya sepeserpun,” ujar Pak Jon bersemangat.”saya jamin, semangat kerja seperti ini sudah tidak ada di Ibukota. Hari gini mengharapkan uluran tangan cuma-cuma dari penduduk kota, bisa dibilang sulit, iya kan?” Saya hanya tersenyum dan mengiyakan di dalam hati. Saya berhasil mencuri waktu sedikit untuk berbincang, ketika dia mengantarkan saya ke mess tempat saya bermalam. “Alhamdulilah pengunjung Maras Taun kali ini jumlahnya meningkat tajam. Kami kedatangan tidak hanya masyarakat Belitung, namun turis-turis yang sengaja menyempatkan diri ke Selat Nasik. Bahkan barusan ada tiga orang wisatawan asal Belanda yang datang untuk menyaksikan acara ini,” tutur Pak Jon, sambil berjalan santai.

Acara Maras Taun sudah dilirik oleh pemerintah Provinsi, dan sejak tujuh tahun lalu diwadahi oleh Pemprov, sebagai agenda nasional rutin pertahun. Sejak saat itu, Maras Taun yang asal muasalnya dari sebuah ritual adat yang sederhana, kini disulap menjadi sebuah wadah budaya lokal, yang sudah cukup mewakili identitas masyarakat Belitung. Agendanya sendiri berlangsung selama lima hari. Dari lima hari itu, disuguhi segala macam bentuk kebudayaan dan atraksi lokal, yang merupakan kebanggaan masyarakat Belitung.

Saya dikenalkan dengan orang yang paling tepat, jika diajak berbincang mengenai potensi budaya dan identitas bangsa Belitung. Kami berbincang di kedai pinggir dermaga kelurahan Selat Nasik. “Adat Belitung itu berbanding lurus dengan adat Melayu kuno. Ditilik dari sejarahnya, unsur Melayu itu sangat dominan perannya di dalam kehidupan kuno,” papar Pak Shofwan. Saat ini pak Shofwan menjabat sebagai Kepala Bidang Pemasaran Wisata Disbudpar Kabupaten Belitung. Tak heran kemampuan berkisahnya luar biasa, beliau adalah mantan guru. Kami berbincang panjang mengenai tata letak kebudayaan masyarakat Belitung, dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakatnya. “Yang namanya adat Belitung itu ya adat Melayu. Adat Melayu itu sendiri, sangat kental dengan pengaruh islam yang ada di pesisir Indonesia bagian Barat. Otomatis, budaya Belitung itu ya didasari oleh Islam yang kuat. Pada zaman dahulu, para pengurus adat boleh saja melakukan berbagai kegiatan sprirtual yang tidak dilandasi latar belakang agama. Namun kini, 100% ritual, dilakukan dengan cara Islam, dan ditujukan kepada Allah semata. Pengurus adat pun kini, adalah seorang Islam yang taat. Banyak dari pengaruh agama Islam, yang dijadikan dasar pemahaman budaya di Belitung.” Pak Shofwan berkisah banyak tentang harapannya terhadap acara Maras Taun ini. “ Acara ini, harus tetap dilestarikan. Biarkan bangsa kita yang berbicara tentang apa yang ada di dalam budaya Indonesia. Jangan sampai lah ritual-ritual ini nantinya dicuri oleh bangsa tetangga. Sebelum itu terjadi, maka mari kita persembahkan tradisi ini kepada banyak orang. Bangsa Indonesia itu harus bisa mensyukuri, dan yang lebih penting merawat sejarah dan budaya, agar jelas identitas bangsa ini mau dibawa kemana,” ujar Pak Shofwan, sambil menyeruput minuman hangat yang menemani obrolan panjang kami.

Dibandingkan dengan biasanya, malam minggu saya kali ini sangat berwarna, karena di hadapan saya sudah terbentang panggung hiburan malam, yang diatasnya sudah bertengger musisi-musisi melayu, lengkap dengan kostum adatnya yang kaya warna. Ini adalah tahun pertama Selat Nasik mendapatkan aliran listrik, yang tentunya sangat signifikan pengaruhnya. Itu juga dengan batasan waktu pukul 18.00 sore hingga pukul 06.00 pagi. Sebagai bentuk dukungan, pemerintah juga meminjamkan beberapa generator yang memacu listrik agar tetap menyala. Sekitar pukul 21.00, para musisi mulai beraksi. Begitu bersuara, saya langsung mengenali pola musik rumpun melayu yang sangat kental. Nada-nada balada Melayu, mengayun merdu. Orang-orang mulai berkerumun di depan panggung hiburan, menyaksikan hiburan rakyat. Dari nada-nada yang dilantunkan, semuanya menggunakan pola nada musik Melayu. Saat menanyakan artinya kepada penduduk setempat, pelirikan musik yang disajikan juga mayoritas bercerita tentang acara maras taun itu sendiri. Beberapa lagu berkisah tentang harapan kesuburan dari Tuhan, rasa syukur atas karunia dan sebagainya. Formasi yang ada di panggung juga mayoritas terpusat di seksi ritmik. Sangat berbau Melayu, mengingat akar musik dangdut juga berpatokan kepada musik Melayu kuno. Di arena lapangan, juga terdapat tenda-tenda yang mewakili setiap kelurahan. Saya terpukau akan detail yang setiap kelurahan berikan, karena cukup banyak hal-hal yang unik dan berkarakter. Saya juga menemukan replika kapal yang dibentuk dari kayu, dan dijual dengan harga relatif murah. Para pengunjung juga memadati stand-stand kelurahan tersebut. Malam itu saya merasakan kehangatan yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, dimana semua orang datang untuk satu tujuan, yaitu bersama-sama merayakan Maras Taun. Konsep dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat benar-benar diimplementasikan pada gelaran Maras Taun ini. Malam semakin larut, dan keriaan masih terus berlanjut hingga larut malam. Saya memutuskan untuk kembali ke mess dan menutup hari itu.

Keesokan harinya, acara diawali pada sekitar pukul 09.00. Hari ini spesial, mengingat Selat Nasik akan kedatangan tamu khusus, yaitu rombongan Gubernur. Saat tiba, hampir semua penduduk berkumpul di dermaga. Di gapura sudah menunggu panitia penyambutan, yang sudah siap dengan segala persembahan bagi rombongan. Kunjungan ini sangat berarti, menunjukkan support bagi event Maras Taun, dan juga wujud rasa peduli pemerintahan terhadap ritual tradisional. Rombongan datang, disusul dengan persembahan tarian menyambutan, yang diiringin oleh pemusik adat, lengkap dengan instrumen tradisional. Sebelum memasuki gapura, diadakan tradisi berbalas pantun oleh panitia penyambutan, dan juga perwakilan dari rombongan. Pantun adalah instrumen tradisional Melayu yang sangat unik, dan kali ini saya menyaksikan kegiatan berbalas pantun.

Rombongan Gubernur duduk di rumah adat dan ikut serta dalam agenda acara penutupan Maras Taun. Sambutan demi sambutan dari pihak-pihak yang terkait, dihaturkan. Uniknya, di setiap akhir sambutan, sebait pantun selalu dilayangkan. Terkadang mengundang tawa banyak orang, karena pantun-pantun yang dilayangkan mengandung kritik dan juga humor.

Prosesi menarik selanjutnya adalah pemotongan lepat. Lepat adalah makanan tradisional serupa dengan lontong, namun dibuat dengan menggunakan ketan. Ratusan lepat yang disediakan ditengah lapangan, nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat. Lepat yang ada mewakilkan berkat dan karunia yang diberikan Tuhan. Setelah itu juga ada atraksi Lesong Panjang. Lesong Panjang adalah sebuah atraksi musik yang memerlukan konsentrasi dan fokus, karena melibatkan beberapa orang yang harus mengoper kayu pemukul kearah yang berurutan.

Saya melirik kearah arloji dan sadar haru segera berkemas pulang, karena harus mengejar penerbangan kembali ke ibukota. Akhirnya saya harus meninggalkan keramaian itu. Berada di tengah-tengah event Maras Taun, mengingatkan saya kembali kepada akar kebudayaan bangsa Indonesia yang selalu harus dilestarikan. Maras Taun adalah salah satu dari sekian banyak ritual adat yang tersebar di Indonesia. Andaikan semuanya mendapatkan ekspos dan bantuan yang layak, dunia benar-benar akan tahu sehebat dan sekaya apa bangsa kita.

Facts: atraksi tradisional yang ada di Belitung

· Campak Darat: Tari hiburan rakyat yang dibawakan dua atau empat penari wanita dan pria yang saling bergantian mengiringi.Biasanya disertai dengan berbalas pantun, dan dimeriahkan oleh alat musik tawak, gendang dan biola

· Lesong Panjang: Alat dan permainan, yang biasanya dimainkan saat musim panen padi tiba. Alat utamanya adalah sebuah lesong atau kayu pilihan yang bersuara jernih dan keras. Lesong akan dipukulkan dengan Alu, kayu panjang, dan dilemparkan secara akrobatik oleh para pemainnya. Biasanya terdiri dari 4 orang.

· Beripat: Sejenis permainan adu ketangkasan, dengan menggunakan rotan sebagai alat pemukul. Diiringi oleh bunyi-bunyian yang terdiri dari musik pukul yang bernama kelinang (sejenis gamelan dan gong)

· Begubang: adu pantun nasehat yang terdiri dari 4 orang, biasanya ditampilkan pada acawa kawinan.

· Dulmulok: Drama tradisional dalam bahasa Melayu, diiringi musik melayu

Facts: Jadwal kegiatan Acara Maras Taun 2010 kecamatan Selat Nasik

· Rabu 14 April 2010: Selamatan Awal Maras Taun, hiburan Campak

· Kamis 15 April 2010: Lomba Dayung Sampan, lomba lagu daerah Gabus,

· JUmat 16 April 2010: Hadra Sembilan, Lesong Panjang, Campak Darat

· Sabtu 17 April 2010: Lomba memancing, Lomba panjat Pinang, Begudang, Dul Mulok, Beripat dan Stambul fajar

· Minggu 18 April 2010: Acara puncak Maras Taun dan malam penutupan berupa orkes Melayu.


Lepat yang dijadikan persembahan

Hiburan Rakyat

penumpang yang mendatangi maras taun

0 comments:

Post a Comment