Terbawa Pesona Sumbawa

Seandainya Anda seorang bajak laut, maka Anda tidak akan pernah tahu harta karun seperti apa yang bisa Anda temukan di tengah-tengah Indonesia bagian tengah.

Saya harus sedikit mengutak-atik jam di telepon selular saya, karena menurut suara pramugari Trans Nusa, Sumbawa mempunya zona waktu yang berbeda dengan Jakarta. Maka saya dan tim harus menambahkan 60 menit di setiap alat penunjuk waktu. Saya sengaja tidak membawa arloji, takut penyakit kambuhan saya – yakni ceroboh tak bertanggung jawab – kambuh dan akhirnya harus menyesal karena saya meninggalkannya entah di mana.

Ohya, Trans Nusa adalah nama penerbangan saya, yang mendaratkan saya dan tim sampai di Brang Biji. Brang Biji adalah nama airport empunya daerah Sumbawa, terletak di pusat kota di Sumbawa besar. Umurnya masih tergolong balita, sehingga keadaan dan fasilitias yang ada di situ tak ubahnya kantor tata usaha sekloha negeri, dimana peralatannya sangat amat minim. Namun untuk ukuran realitanya, Brang Biji merupakan sebuah anugrah bagi daerah Sumbawa. Dulu, setiap tamu yang hendak datang ke Sumbawa harus jauh-jauh dijemput ke daerah Bima. Sangat merepotkan. Jadwal penerbangan Trans Nusa juga ibarat perangai wanita. Susah ditebak. Terkadang delay 2 jam, tapi di hari lain bisa berangkat lebih cepat 30 menit.

Tidak sulit mencari jalan keluar di Brang Biji, hanya ada satu ruangan arrival dan tidak lama setelah itu saya sudah bersalaman dengan supir saya dan tim selama di Sumbawa. Namanya pak Zul. Perawakan gempal tapi berotot, mata sayu sipit dengan kulit sawo matang. Beliau juga yang memukul gong petualangan saya dan tim dengan melontarkan pertanyaan mendasar yang setiap traveling journalist inginkan: “Mau kemana nih kita pak? ” maka kami langsung mengeluarkan carikan kertas yang berisi hasil riset dan paparan jadwal ketat yang harus dipatuhi, demi menghasilkan tulisan berbobot baik. Mengingat perjalanan ini harus berbuah laporan utama edisi agustus, maka setiap langkah yang saya dan tim ambil, harus diperhitungkan matang-matang. Here we go.

(Sebenarnya saya sangat ingin melanjutkan cerita dengan mempertahankan gaya deskripsi, tapi sepertinya akan terdengar sangat melantur. Jadi, saya memutuskan untuk lebih menyingkat pemaparan yang ada)

Saliper Ate

Adalah pantai umum yang ada di Sumbawa besar. Dari airport Brang Biji tidak kurang dari 10 menit perjalanan. Saliper ate adalah objek liputan saya yang pertama di Sumbawa. Dan seperti pantai-pantai umum lainnya, Saliper Ate sama sekali tidak didandani oleh pemerintah daerah. Anda dikenakan biaya Rp.2000 rupiah untuk masuk ke area ini. Kebanyakan dari pengunjung adalah masyarakat lokal, yang hendak menikmati angin pantai dan sekedar membuang waktu. Di sebelah timur pantai ini terdapat wahana rekreasi air. Seperti waterbom, versi 10 tahun yang lalu. Yang menjadi pernak-pernik di pantai ini adalah kondisi sampahnya tang tidak terurus. Bila Anda menelusuri pantai ini ke sebelah kiri, maka Anda akan menemukan beberapa kontur pantai yang menarik, namun tidak sampai meraih predikat spesial.

Di pantai ini juga biasanya banyak kegiatan atau program resmi pemerintah dilaksanakan. Saat saya tiba, terdapat di Saliper Ate tepat malam itu adalah malam final dari Taruna Dedara. Taruna Dedara adalah Abang None versi tanah Sumbawa. Beberapa kontes yang menarik, adalah mereka (para peserta) harus bisa beradu lawas, pantun asli Sumbawa. Acara ini adalah bagian dari pekan budaya Samawa (Samawa diartikan sebagai Sumbawa, menurut cara eja orisinil bahasa daerah Sumbawa). Selama pekan budaya ini, dilancarkan berbagai atraksi budaya Sumbawa. Salah satu yang menarik adalah akulturasi musik tradisional dan juga modern dengan cita rasa asli Sumbawa.

Kencana Resort

Beranjak dari Saliper Ate, kami singgah sebentar di Kencana Resort, dimana Anda bisa melihat pemandangan dari tanjung menangis. Nama unik tanjung menangis lahir dari cerita lokal, yang melibatkan putra raja, putri raja dan juga (tentunya) asmara. Saya agak malas menceritakan cerita lengkapnya. Di kencana Resort, Anda bisa ke tengah pantai dan diving. Bila enggan menahan nafas terlalu lama, maka Anda cukup membentangkan kail dan menarik ikan-ikan gemuk dan segar. Memancing juga merupakan pilihan menarik, saat singgah di kencana resort.

Labuhan Samawa

Di tempat inilah, para nelayan menumpahkan ikan-ikan tangkapannya, sekaligus saya menyaksikan sunset pertama di Sumbawa. tidak memakan waktu lama sampai saya benar-benar terkesima atas tenggelamnya surya sore itu. Labuhan Samawa terletak dibelakang pemukiman, maka Anda harus masuk sedikit kedalam pemukiman untk mencapainya.

Sore itu, Labuhan Samawa sama sekali tidak cantik. Namun di hadapannya, matahari tenggelam membuat perhatian semua orang tertuju pada satu, sunset. Labuhan Samawa bukan tempat rekreasi umum, namun karena menjadi bagian dari pemukiman, maka sore hari merupakan waktu dimana anak-anak kecil bermain riak ombak kecil dan para orang tua menghirup udara sore yang segar.

Sunset sore itu menutup hari dan mengundang malam. Edo, tandem fotografer saya berpesta dengan lensanya. Beberapa kali menjepret, dan kami sudah siap untuk beranjak ke destinasi berikutnya.

+++

moncong mobil taruna kami mengarah ke hotel Tambora. Perjalanan yang lumayan heboh, membuat kami bertiga harus mandi

Restoran Goa

Yak, waktu untuk berbincang banyak mengenai apa yang ada di Sumbawa, dan tentunya mulai untuk culinary Review.

Pembicaraan panjang saya dengan Pak Didi, berbuah banyak informasi. Pak Didi bercerita karakter masyarakat Sumbawa yng jauh lebih bisa menjag emosi, dibandingkan tetangga-tetangganya di Lombok dan NTB. Untuk masalah pariwisata, Sumbawa masih kerdil sekali perkembangannya. Pemerintah Daerah juga tidak pernah menunjukkan dukungan nyata, karena yang ada hanya minta uang saat sebuah situs pariwisata sudah rampung dan berhasil. Ah memang cerita klasik berbicara dukungan pemda mengenai pariwisata. Apalagi di daerah Sumbawa, yang masih belum sepopuler tempat-tempat lain.

+++

Sepat, merupakan sebuah sup ikan berkuah segar, dengan kombinasi daun-daunan gurih dan juga terong segar yang di celupkan bersama. Makanan itu lumayan menghardik saya dan menggiring mata saya untuk semakin berat dan terlelap.

+++

bangun tidur untuk hunting sunrise ternyata bukan perkara mudah. Setengah 4 pagi untuk keluar pintu hotel dan berseluncur langsung menuju Ai Bari. Ai Bari adalah pemukiman di tepi pulau Sumbawa, yang lokasinya terdekat dengan Pulau Moyo, destinasi berikutnya. Supir saya bercerita bahwa sunrise di Air Bari sangat indah, karena pancaran dari mataharinya penuh dan sangat kuning. Tanpa pikir panjang maka kami mengangguk setuju untuk menjajal sunrise. Tapi saya menggeleng keras di mobil. Perjalanan subuh itu sangat menyiksa. Disamping meda jalan yang sangat menyedihkan, mata saya sangat mengantuk. Tapi mata saya bukan lagi menjadi masalah saya ketika tiba untuk hunting sunrinse. Yang menjadi masalah adalah keindahan tidak terbatas dari pemandangan yang ada di hadapan saya, pagi itu.

+++

Seusai sunrise, maka saya bergegas untuk datang ke tepi pantai di Ai Bari, untuk dijemput oleh kru dari Amanwana Resort. Satu dan dua seduh pop mie, and off we go. Speed boat, full speed dan momen pertama yang membuat saya lumayan berpikir panjang adalah, tiba-tiba si supir speed boat mengeluarkan sandwich dan menawarkan sarapan. Wow, sangat detail. Perjalanan dari Ai Bari, memakan waktu kurang lebih 40 menit. Hati saya berdebar. Biasanya di momen-momen ini, saya berdebar karena terlalu bersemangat, dan mempunyai firasat akan menghadapi sesuatu yang spesial.

Amanwana

Dari tengah laut, Amanwana tidak terlalu spesial. Masih lebih spesial biru laut yang mewadahi perjalanan speedboat saya. Tapi begitu mendekati dermaga, saya melihat sebuah tempat tanning dan berjemur yang benar-benar terletak di mulut pantai. Saya menepi di dermaga panjang yang menggawangi Amanwana resort. Di samping boat saya, ada pesiar mini yang menjauh menuju laut. Satu keluarga, yang berasal dari Inggris, yang sedang berlibur.

Terdamparlah saya di Amanwana. Resort kelas dunia dimana Mick jagger, Lady Diana dan Bill Gates pernah bermalam disana. Disambut oleh jabatan tangan dari para beach boy Amanwana, saya masih berdecak kagum atas pemandangan yang menyambut kedua mata saya. Pulau Moyo yang kerap dibicarakan oleh seluruh pecinta dunia traveling, kini saya pijak. Pasir putih permadani buatan yang maha kuasa, mencari celah diantara kedua kaki saya tatkala berjalan ke dalam Amanwana.

Pak Wilda, manager operasional menyambut kami dengan hangat. Pakaian kerja pegawai di Amanwana sangat mencuri perhatian. Dengan celana kargo pendek berwarna krem, dipadupadankan dengan kemeja putih, berhias bros yang menjelaskan identitas mereka. Pak Wildan tidak banyak bertele-tele dan langsung mengatur jadwal, agar semua fitur dan fasilitas yanga da di Amanwana bisa kami liput, dalam semalam.

Menurut saya, apa yang menjadikan Amanwana spesial adalah pelayanannya, dan kecintaannya terhadap detil. Detil-detil ini yang kemudian menyita perhatian saya, karena tamu jadi merasa sangat spesial, atas detil yang diberikan oleh Amanwana.

Saya beserta tim ditemani Pak Wilda langsung menuju tempat liputan pertama di Amanwana, yaitu Fasilitas spa beach view. Intinya tempat ini adalah Spa yang dibuat tepat di pinggir pantai, jadi Anda akan menikmati pemandangan laut lepas yang menakjubkan, sembari menikmati fasilitas Spa dari Amanwana. Untuk meraih tempat ini, Anda harus jalan kaki barang 10 menit dari area penginapan Amanwana. Alam yang masih sangat dijaga oleh Amanwana, tidak akan membuat Anda bosan. Bergerak sedikit dari Spa Beach View, Anda akan menemukan Music Lounge. Music Lounge adaleh area khusus bagi para konsumen di Amanwana, yang ingin mendengarkan lagu dengan bebas. Bukannya tidak boleh, hanya saja di Amanwana dan Pulau Moyo, keheningan, ketenangan adalah salah satu andalan mereka, dimana Anda tidak akan menemukan suara lain kecuali bunyi riak ombak mungil dan suara nafas Anda. Music Lounge di desain sangat apik, menyediakan dua buah kasur nyaman, dengan sound system berkualitas baik, sumber suara dari Ipod dengan pilihan lagu update yang menarik. Balai Music Lounge juga langsung mengarah ke laut lepas, hingga Anda bisa merasakan telinga Anda digempur oleh suara ombak dan musik sekaligus.

Beranjak dari Music Lounge saya dan tim langsung berangkat dengan speedboat menuju honeymoon private beach. Ini juga fasilitas yang menurut saya sangat detil dan spesial. Bayangkan saja Anda dan kekasih bisa menghabiskan hari Anda di sebuah pulau pribadi yang tidak berpenghuni. Dilengkap dengan sebuah tenda, dua buah tempat tidur, kotak makanan, radio dan kotak p3k, Anda bisa dengan bebas berbuat apasaja di Pulau itu. Tim Amanawan akan memberikan Anda sebuah Handie Talkie, yang dapat digunakan untuk berkomunikasi, bila seandainya Anda sudah mau menyelesaikan petualangan di pulau pribadi dan dijemput oleh speedboat kembali. Super Cool!

Setelah itu kami langsung menuju Air terjun. Untuk sampai disana, saya dan tim harus kembali membelah lautan dengan speedboat, lalu masuk desa tradisional, dan menaiki 4 wheeler dan menerabas masuk hutan selama sekitar 30 menit. Setelah sampai di tengah-tengah hutan, kami masih harus trekking berjalan kaki untuk masuk lagi. Terbayar lelah kami dengan kondisi air terjun yang masih sangat amat alami. Anda bisa melihat dasar laut, dikarenakan kejernihan air yang membius mata. Air terjun ini mempunyai bentuk bertingkat-tingkat, yang membuatnya semakin cantik. Kami menghabiskan waktu yang cukup lama. Guide kami mengeluarkan beberapa buah-buahan dari tasnya, dan menawarkan kami untuk menyantapnya. Sungguh menenangkan.

Sepulang dari air terjun, kami langsung hunting sunset. Kami menuju ke tengah laut dengan kapal besar, dan menunggu sang surya tenggelam. Sore itu sangat menghanyutkan. Kondisi ombak yang bersahabat dan tiba-tiba pengemudi kapal saya mengeluarkan sebotol bintang dingin dan setoples kacang. Sangat pas. Maka kami menghabiskan sore itu dengan berbincang banyak, lalu berpesta merayakan indahnya tenggelam matahari.

Pulang kembali mendekati daerah penginapan Amanwana, saya sudah ditunggu untuk menikmati bersantap malam. Konsep santap malam yang ditawawkan kepada saya dan tim adalah barbeque, dipinggir pantai. Saat itu saya seringkali berkeluh kepada Pak Wilda karena saya menikmati suasana Amanwana, tanpa kehadiran seorang wanita. Maka pada saat dinner, Pak Wilda memboyong Grace, perempuan menarik yang bertugas sebagai tim medis di Amanwana. Maka melayanglah pembicaraan kami sepanjang dinner malam itu. sampai akhirnya Pak Wilda mengambil wine yang masih bersisa, dan menjamu saya dan tim untuk mencicipi winenya, sambil bercengkerama.

+++

besok paginya saya sudah harus beranjak kembali ke Sumbawa besar, untuk melakukan perjalanan panjang melanjutkan liputan. Sekitar jam 1 siang saya sudah berada kembali di tanah Sumbawa.

Desa Taloa

Adalah desa dimana banyak dari penduduknya mempunyai pekerjaan sebagai petani dan pengrajin parang. Parang adalah sejenis kapak. Parang dari desa Taloa menjadi terkenal karena ketajaman dan kualitasnya yang tahan lama. Saya menyaksikan langsung pembuatan parang, yang menggunakan pompa manual. Sangat menarik.

Desa Poto

Lain hal dengan desa poto. Hampir semua penghuni dari desa ini mempunyai alat tenun, dan memproduksi berbagai hasil kain tenun, yang nantinya akan dijual kembali. Kisaran harganya Rp 100.000 – Rp.300.000. biasa dijual ke pasar, atau pemesan tunggal. Menariknya, setiap alat tenun yang ada merupakan hasil warisan turun temurun, yang umurnya mungkin sudah puluhan tahun. Si empunya alat tenun tidak tahu sudah berapa generasi diwariskan alat tenun tersebut. saya menikmati suasana alami yang ada di desa tersebut. untuk mencapai sekolah public, para anak-anak di desa Poto harus mencapai perjalanan sampai 50 km.

Semongkat

Merupakan daerah dataran tinggi. Ditempuh dengan waktu perjalana sekitar 3 jam dari Sumbawa Besar, ternyata daerah Semongkat hanya menyimpan stok udara dingin, dan kawasan pemandian umum yang sudah kering. Tidak hanya itu, environment yang kurang terawatt, membuat saya dan tim cepat-cepat merekonstruksi jadwal perjalanan. Yang menarik di situ hanyalah kawasan tepal. Kami tidak bisa mencapai daerah itu dikarenakan mobil yang tumpangi tidak kuat untuk bisa menempuh medan tepal. Di daerah tepa ada pedesaan tradisional, ang masih terjaga alamnya. Konon Anda harus menempuh perjalanan 2 hari, untuk bisa tiba di tepal. Itu juga dengan mobil 4x4 yang kondisinya baik.

+++

tidak berlama-lama di daerah semongkat, kami langsung meluncur ketujuan berikutnya, Sekongkang

Sekongkang, Pantai Maluk

Kami beranjak dari semongkat pukul 4 sore, dan perjalanan sampai ke daerah sekongkang memakan waktu 7 jam. Maka jadilah kami sampai di sekongkang dengan larut malam. Kami menginap di tropical beach resort. Untuk ukuran sebuauh penginapan lokal di ujung dunia, TBR adalah yang kualitasnya mumpuni. Sayang sekali interiornya yang sangat 90an membuat kesan TBR menjadi ‘biasa’ saja. Disamping itu, TBR adalah persinggahan para peselancar dari seluruh dunia yang sudah mual ke Bali dan Lombok. Mereka yang mencari sesuatu yang baru, akan haus untuk mencari tempat-tempat seperti ini. Keindahan pantai Sekongkang memang teruji. Saat saya datang, ada beberapa turis yang berusaha menaklukkan ombak-ombak. Pak Lalu, bercerita banyak mengenai perkembangan daerah Semongkat dan juga hotel yang dia kelola. Pada awalnta Tropical Beach Resort hanya diperuntukkan bagi para pegawai PT. Newmont (Perusahaan Asing yang bermukim di Sumbawa, kebanyakan dari pegawainya berasal dari luar Indonesia). Penginapan tersebut hanya didatangi oleh pegawai Newmont, tetapi kemudidan pihak manajemen memutuskan untuk membuka TBR untuk umum. Mulai saat itu mulai berdatangan tamu-tamu asing lainnya. Pantai ini terkenal akan pantainya, maka tidak heran bila para turis datang untuk menjajal ombak.

+++

lalu kami kembali beraksi di Sumbawa besar.

Liang Petang

Ini adalah liputan terakhir kami. Menutup petualangan anti jengah di Indonesia tengah. Kami masuk ke desa Batu Tering, dimana penduduknya jarang melihat mobil dan pakaian formal membuat kita terlihat seperti alien. Objek liputan kami ada dua, yakni sarkofagus dan gua liang petang. Ya, Sarkofagus. Selama ini saya hanya tahu nama ini dari pelajaran sejarah sekolah dasar, dan saya menyaksikannya sendiri. Sarkofagus itu menjadi dilindungi oleh pemerintah, karena banyak orang hendak mencuri dan menjualnya. Berumur jutaan tahun yang lalu, sarkofagus dipercaya sebagai bentuk makam dari manusia purba. Kami masuk ke dalam area sarkofagus dengan motor trail. Kami dijemput oleh Sumbawa Motor Adventure Club (SMAC). Kondisi jalan menuju sarkofagus tidak memungkinkan mobil masuk kedalam. Sekitar 30 menit menembus hutan dengan bantuan motor trail, kami akhirnya masuk ke area sarkofagus. Ada sebuah gubuk dimana penjaganya bermukim. Pak Suharto, yang dikenal menjabat sebagai Kapolres di Sumbawa, juga hadir sebagai salah satu anggota dari SMAC. Di Sarkofagus ada pahatan-pahatan menarik yang berbentuk muka manusia, tubuh manusia dan buaya. Ajaib mengingat sarkofagus ini dibuat jutaan tahun yang lalu, sebagai makan manusia purba. Sekitar 15 orang rombongan tim saya beserta SMAC, langsung menuju destinasi berikutnya, gua liang petang. Trekking terjal kembali menuju lebih pedalaman hutan, dimana terdapat gua, dengan bebatuan karang yang hanya terdapat di laut. Aneh? Pasti. Menurut pak gede – salah satu anggota rombongan SMAC, dulu perairan menutupi gua ini, dan saat menyurut, maka jadilah temoat ini sebuah gua.

Bisa dibilang masuk ke dalam gua Liang Petang ini adalah pengalaman saya di Sumbawa yang paling mengerikan. Bayangkan, masuk ke dalam gua sedalam kurang lebih 200 meter, dengan track bebatuan tajam, lubang-lubang kecll. Tanpa bantuan cahaya sedikitpun kecual senter menyenter, saya sang berhati-hati memasuku Liang Petang. Di dalam gua itu, penutup dari perjalanannya adalah sebuah telaga di dalam gua! Sangat alami dan indah. Bilsa sekali saja saya terpeleset atau kehilangan konsentrasi, bukannya tidak mungkin saya terpeleset dan kehilangan nyawa. Near death experience!

Menghela nafas saya ketika berhasil keluar di gelapnya malam , dari Liang Petang. Lalu kami trekking kembali ke bawah, berjalan ke arah pulang dan terlelap dengan mudahnya.

+++

seperti biasa, membuka mata dengan sulit, memaksakan baju kotor masuk kedalam ransel dan menunggu di depan ruang tunggu Bandara Brang Biji.

Sudah jelas 5 hari di Sumbawa, mata saya dipertunjukkan sesuatu yang sama sekali tidak biasa. Keindahan, keaslian dan penghargaan kita kepada alam, mungkin adalah salah satu yang membuat kita masih menjadi manusia. [teguhwicaksono]

pasangan lumba-lumba di perjalanan menuju amanwana

anda hanya tinggal melemparkan sebuncah roti dan ini yg akan terjadi

Sunrise di labuhan Samawa

sunset
beberapa sajian khas Sumbawa


0 comments:

Post a Comment